Galungan dan Kuningan merupakan Hari Raya umat Hindu yang dirayakan setiap 210 hari sekali, sehingga dalam setahun Galungan dan Kuningan bisa dirayakan sampai dua kali. Hari Raya Galungan berdasarkan kalender Bali-Jawa jatuh pada hari Budha Kliwon Wuku Dungulan.
Kata Galungan berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘Bertarung’, bisa juga disebut ‘Dungulan’ yang berarti menang. Kemenangan yang dimaksud merupakan kemenangan atas Dharma melawan Adharma. Untuk Hari Raya Kuningan dirayakan 10 hari setelah Hari Raya Galungan.
Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan
Galungan dan Kuningan bukan hanya sekedar hari raya yang dijalankan dengan persembahyangan, tetapi terdapat nilai-nilai yang tersemat dalam perayaan suci ini. Berikut penjelasan makna dari Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Baca juga: Tradisi Pengerupukan di Bali: Sarat Makna dan Penjelasannya
Hari Raya Galungan
Kata Galungan berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘bertarung’ atau ‘menang’. Galungan merupakan perayaan kemenangan atas Dharma (kebaikan dan kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). Sekaligus simbolis bahwa umat manusia bisa menegakan kebaikan dan kebenaran atas kejahatan.
Dalam sudut pandang filosofi, Galungan menjadi perayaan untuk menyatukan kekuatan rohani supaya mendapatkan pendirian dan pikiran yang terang. Umat Hindu juga memperingati Galungan atas terciptanya alam semesta dan seluruh isinya. Perayaan Galungan diperingati dengan menghaturkan sujud bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Hari Raya Kuningan
Hari Raya Kuningan menjadi momen umat Hindu untuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada para Dewa, Bhatara, dan Pitara. Sekaligus sebagai hari pemujaan kepada Sang Hyang Widi atas ucapan syukur karena Para Dewa yang turun ke dunia dan memberikan berbagai anugerah seperti kebijaksanaan dan kemakmuran.
Pada hari Kuningan para pemeluk agama Hindu akan melaksanakan persembahyangan selama setengah hari, karena dipercaya Para Dewa dan Bhatara akan turun ke bumi diiringi oleh para Pitara hanya sampai setengah hari saja. Setelah setengah hari, Para Dewata akan kembali lagi ke Kahyangan.
Saat perayaan Kuningan akan dipasang simbol-simbol perang di bangunan-bangunan rumah seperti ‘Tamiang, Ter, dan Endongan’. ‘Tamiang’ memiliki arti simbol pertahanan, bermakna bahwa manusia hendaknya meningkatkan ketahanan diri untuk menghadapi tantangan hidup.
Selanjutnya ada ‘Ter’ yang menjadi simbol senjata perjuangan dan ‘Endogan’ merupakan simbol logistik. Simbol-simbol tersebut bermakna hendaknya manusia bertekad untuk selalu mengalahkan “musuh”. Di zaman sekarang ini “musuh” bisa diartikan sebagai kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya.
Rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan
Terdapat beberapa rangkaian upacara pada Hari Raya Galungan dan Kuningan. Rangkaian upacara dimulai dari 25 hari sebelum Galungan sampai satu bulan setelah Galungan. Berikut detail rangkaian upacara mulai dari Tumpek Wariga sampai Hari Pegat Wakan.
Baca juga: Hari Raya Nyepi: Mengenal Makna Perayaan Umat Hindu Bali
1. Tumpek Wariga
Tumpek Wariga menjadi rangkaian awal dari Perayaan Galungan. Lebih tepatnya pada 25 hari sebelum Galungan. Rangkaian yang pertama ini biasa disebut juga Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah, atau Tumpek Bubuh.
Pada Tumpek Wariga, Sang Hyang Sangkara adalah Ista Dewata yang dipuja sebagai Dewa Keselamatan dari Tumbuh-tumbuhan. Perayaannya dilakukan dengan menghaturkan Banten dan mengelus atau menggetok batang pohon. Sambil didoakan pohon di upacarai supaya bisa lekas menghasilkan atau berbuah.
2. Sugihan Jawa
Sugihan Jawa memiliki arti pembersihan atau penyucian. Pembersihan dari segala hal yang ada diluar diri manusia (Bhuana Agung). Pada rangkaian Sugihan Jawa dilaksanakan upacara Mererebon atau Mererebu dengan tujuan menetralisir hal-hal negatif diluar diri manusia. Hal tersebut disimbolkan dengan pembersihan rumah dan merajan dengan menghaturkan banten.
3. Sugihan Bali
Jika sebelumnya Sugihan Jawa merupakan pembersihan diluar diri manusia (Bhuana Agung). Sugihan Bali merupakan pembersihan/penyucian didalam diri manusia (Bhuana Alit). Pelaksanaannya dilakukan dengan mandi atau pembersihan secara fisik dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai bentuk simbolis pembersihan jiwa dan raga.
4. Penyekeban
Rangkaian Hari Raya Galungan selanjutnya yaitu Penyekeban. Hari Penyekeban bermakna filosofis ‘nyekeb indriya’ yang artinya mengekang diri supaya menjauhi hal-hal yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama.
5. Penyajan
Penyajan berasal dari kata ‘saja’ yang dalam bahasa bali berarti ‘serius’ atau ‘benar’. Hari Penyajan dimaknai sebagai hari dimana umat Hindu memantapkan diri untuk merayakan Galungan yang akan segera tiba. Menurut kepercayaan Bhuta Dungulan akan menguji sampai mana manusia akan melangkah lebih jauh menuju Hari Raya Galungan.
6. Penampahan
Penampahan dilaksanakan satu hari sebelum Hari Raya Galungan. Umat Hindu pada hari Penampahan akan sibuk menyembelih babi dan membuat penjor. Penyembelihan babi dilakukan sebagai sarana pelengkap upacara sekaligus menyimbolkan bahwa nafsu kebinatangan didalam manusia telah dibunuh.
Selain itu, penjor merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesejahteraan dan kemakmuran yang telah diberikan. Dipercaya pada Hari Penampahan leluhur akan mengunjungi sanak keturunannya. Maka, disediakan suguhan khusus untuk leluhur yang akan “menyinggahi” mereka dirumahnya masing-masing.
Baca juga: Mengenal Penjor saat Hari Raya Galungan Umat Hindu Bali
7. Hari Raya Galungan
Saat Hari Raya Galungan seluruh umat Hindu akan melangsungkan persembahyangan di Merajan, Panti, dan Pura. Terdapat juga tradisi mamunjung ka setra yaitu membawakan banten ke kuburan bagi umat Hindu yang memiliki anggota keluarga berstatus makingsan ring pertiwi.
8. Umanis Galungan
Hari Umanis Galungan akan dilaksanakan dengan persembahyangan dan disambung dengan saling mengunjungi sanak saudara. Khusus untuk anak-anak biasanya akan melakukan tradisi Ngelawang yaitu menari barong sambil diiringi musik gamelan. Tradisi Ngelawang dipercaya dapat mendatangkan aura positif dan mengusir aura-aura negatif.
9. Pemaridan Guru
Pemaridan berasal dari kata ‘Memarid’ yang berarti ‘nyurud’ atau ‘ngelungsur’ (memohon), dan ‘Guru’ yang bermakna Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Yang artinya Pemaridan Guru merupakan hari untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru.
10. Ulihan
Ulihan memiliki arti ‘kembali’ atau ‘pulang’. Hari Ulihan dipercaya sebagai hari kembalinya dewa-dewi atau leluhur ke kahyangan seraya meninggalkan setiap anugerah-Nya.
11. Pemacekan Agung
‘Pemacekan’ berasal dari kata ‘pacek’ yang artinya ‘tegar’. Hari Pemacekan Agung berarti ketegaran iman manusia atas setiap godaan yang telah dilalui selama rangkaian Hari Raya Galungan.
12. Hari Raya Kuningan
Pada Hari Raya Kuningan persembahyangan hanya dilaksanakan setengah hari atau sampai pukul 12 siang. Hal tersebut dilakukan karena dipercaya setelah jam 12 siang para Dewata telah kembali ke Kahyangan. Jika persembahyangan terus dilakukan, yang menerima persembahyangannya hanyalah Bhuta Kala.
13. Hari Pegat Wakan
Hari Pegat Wakan merupakan rangkaian terakhir dari Hari Raya Galungan dan Kuningan. Dilaksanakan satu bulan setelah Galungan, pada hari ini umat Hindu akan melaksanakan persembahyangan dan mencabut penjor yang telah dipasang sejak Penampahan Galungan. Setelah dicabut, penjor akan dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah.
Baca juga: Ogoh-ogoh Bali: Memahami Makna dari Tradisi Unik pra-Nyepi
Galungan dan Kuningan merupakan Hari Raya umat Hindu di Indonesia yang memiliki rangkaian upacara panjang mulai dari sebelum sampai setelah Hari Raya dilaksanakan. Hari Raya Galungan bermakna kemenangan umat manusia atas kebenaran melawan kejahatan. Perayaan Kuningan bermakna hendaknya manusia bisa mengalahkan “musuh” dalam artian saat ini melawan kebodohan dan kemiskinan.