Sistem irigasi subak sudah menjadi warisan budaya dunia yang ditetapkan oleh UNESCO sejak 2012. Subak adalah organisasi milik masyarakat petani yang ada di Bali. Tujuan dari organisasi subak adalah mengatur sistem irigasi atau pengairan pertanian yang adil dan merata.
Sebagai wisatawan di Bali, sering kali kita terkesima dengan persawahan hijau yang berundak-undak. Subak memiliki peranan penting dalam sistem pengairan persawahan tersebut. Sudah ada sejak abad ke-11, subak bukan sekedar sistem pertanian tetapi juga manifestasi dari filosofi Tri Hita Karana yang bersumber dari kepercayaan Hindu.
Berikut informasi selengkapnya tentang sistem irigasi subak, Pia Agung Bali telah merangkumnya untuk kamu. Selamat membaca sobat PIAA!
Sejarah Sistem Irigasi Subak
Diperkirakan kegiatan pertanian padi di Bali sudah ada sejak 882 M, hal tersebut dibuktikan dari prasasti tertua di Bali yaitu Prasasti Sukawana A1 yang menyebut kata “huma” yang berarti sawah. Kata subak berasal dari bahasa bali yang mengacu pada Prasasti Pandang Bandung tahun 1072 M.
Subak merupakan lembaga keagamaan dan sosial yang mempunyai aturan demokratis tersendiri dalam menetapkan peraturan penggunaan air irigasi untuk pertanian khususnya persawahan. Sistem pengairan pertanian khususnya sawah di Bali memiliki sejarah yang panjang, sejak lebih dari seribu tahun yang lalu.
Baca juga: Kain Poleng Bali, Arti Saput Poleng Motif Hitam Putih
Penetapan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO
The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sudah menetapkan subak sebagai salah satu warisan budaya dunia. Penetapan tersebut didapatkan hasil perjuangan panjang dari Masyarakat Indonesia selama 12 tahun.
Diperlukan penelitian dari berbagai ilmu pengetahuan untuk pengusulan dalam kategori ini. Beberapa bidang ilmu pengetahuan seperti antropologi, ilmu lingkungan, geografi, arsitektur lanskap, arkeologi, dan beberapa bidang ilmu lainnya.
Beberapa komponen subak yaitu hutan (pelindung pasokan air), lanskap sawah yang berundak-undak (terasering), sawah yang terhubung dengan sistem kanal, bendungan, pura, dan desa. Salah satu desa yang masih menjalankan subak dengan pola asli adalah Desa Jatiluwih.
Persawahan di Desa Jatiluwih dalam penggunaan saluran irigasinya sama sekali tidak menggunakan beton. Selain itu terdapat juga padi bali merah yang merupakan varietas padi asli lokal yang masih ditanam disana. Petani juga masih mempertahankan pola lahan berundak-undak (terasering) untuk estetika keindahan persawahan bersistem subak.
Makna Subak sebagai Manifestasi Tri Hita Karana
Subak menjadi manifestasi dari filosofi konsep Tri Hita Karana. Filosofi tersebut mengajarkan manusia untuk hidup dengan aman, tentram, bahagia, lahir dan batin. Konsep Tri Hita Karana juga berarti menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, alam, dan manusia.
Berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kesejahteraan/kebahagiaan, dan “Karana” yang berarti penyebab. Dapat diartikan Tri Hita Karana sebagai “Tiga penyebab terciptanya kesejahteraan atau kebahagiaan”.
Penerapan Tri Hita Karana dalam sistem subak yaitu:
- Parahyangan, hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan yang diimplementasikan dengan pemujaan terhadap pura yang ada di kawasan subak.
- Pawongan, hubungan harmonis antara manusia dan sesamanya, yang diimplementasikan dengan adanya organisasi yang mengatur sistem irigasi subak.
- Palemahan, hubungan harmonis antara manusia dengan alam yang diimplementasikan dengan kepemilikan tanah wilayah dari setiap subak.
Tradisi subak bisa terus bertahan secara turun-temurun karena masyarakatnya yang taat kepada tradisi leluhur. Semua didiskusikan dengan baik seperti pembagian air yang adil, penetapan waktu penanaman dan penentuan jenis padi yang akan ditanam.
Pelanggar akan disanksi oleh warga melalui upacara ritual di pura. Adat seperti ini yang membuat subak bisa terus lestari secara turun-temurun, sehingga terbangun konsep pertanian yang berkelanjutan.
Baca juga: Base Genep, Bumbu Rahasia Kelezatan Kuliner Khas Bali!
Aturan Sistem Irigasi Subak
Anggota subak disebut dengan krama subak. Krama subak adalah petani yang memiliki garapan sawah serta sawahnya mendapat jatah pembagian air. Subak merupakan organisasi otonom, sehingga bisa menetapkan peraturannya sendiri yang disebut dengan awig-awig, sima, dan pararem.
Di dalam awig-awig dimuat ketentuan pokok yang mengatur mengenai hal parahyangan, pawongan, dan pelemahan. Untuk aturan-aturan yang lebih detail dimuat dalam pararem. Awig-awig subak mengatur hak dan kewajiban serta sanksi atas pelanggaran anggota subak.
Krama subak dibagi menjadi 3 yaitu:
- Krama aktif, anggota subak yang aktif
- Krama pasif, anggota subak yang mengganti kewajibannya dengan uang atau natura (barang) karena penyebab satu dan lain hal.
- Krama luput, anggota subak yang tidak aktif dalam setiap kegiatan karena bertugas sebagai kepala desa atau bendesa adat.
Manfaat Sistem Irigasi Subak
Sistem irigasi subak memberikan pasokan air kepada petani-petani anggota subak. Mereka akan mendapatkan fasilitas seperti bendungan air, parit, dan alat untuk memasukan air ke bidang sawah garapannya.
Jatah air yang diberikan kepada tiap anggota disesuaikan dengan keaktifan mereka masing-masing didalam organisasi subak. Hal ini menjadi dasar pembagian air yang adil karena distribusi air disesuaikan dengan keaktifan anggotanya masing-masing.
Anggota subak bersama-sama membuat, memelihara, mengelola, serta memanfaatkan fasilitas irigasi pertanian sendiri. Subak bukan hanya sebagai organisasi irigasi pertanian, tetapi juga peribadatan untuk memohon kesuburan dan rezeki.
Baca juga: Memahami Makna Banten, Sesajen Sarana Upacara Umat Hindu
Sistem irigasi subak bertujuan untuk memberikan pengairan pertanian secara adil dan merata kepada para petani. Tak hanya sebagai pengatur irigasi, subak dianggap sebagai manifestasi dari kehidupan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.